Peristiwa Reformasi 1998
PERISTIWA RFORMASI 1998
Krisis finansial Asia yang dimulai
sejak tahun 1997 yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan menyebabkan
ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat
itu. Hal tersebut menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, pada tahun 1998 Indonesia mengalami reformasi.
Para mahasiswa menuntut agar Presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenan.
Pada 12 Mei 1998 adalah awal dari gerakan
reformasi. Berbagai unjuk rasa mulai dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa salah
satunya, unjuk rasa dilakukan oleh mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta.
Namun dalam aksi unjuk menyebabkan empat mahasiswa Universitas Trisakti
meninggal dunia. Meninggalnya empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat
mahasiswa-mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia menjadi semangat untuk
melakukan unjuk rasa secara besar-besaran.
Kericuhan tersebut belum padam pada tanggal 13
Mei 1998 di Jakarta, para mahasiswa melumpuhkan akses jalan serta menghancurkan
dan membakar toko-toko beserta pemiliknya. Kerusuhan
juga terjadi di kota Solo. Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan
negara-negara berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke
Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia
di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden.Wanita-wanita keturunan Tionghoa menjadi korban pemerperkosa
dan mengalami pelecehan seksual serta pembunuhan oleh para mahasiswa dalam
kerusuhan tersebut.
Pada tanggal 14 Mei 1998, Demonstrasi terus
bertambah besar hampir di semua kota di Indonesia mereka mengepung dan menduduki
gedung-gedung DPRD di daerah. Soeharto, mengatakan bersedia mengundurkan diri
jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di
Kairo. Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat
kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
Pada 18 Mei tepatnya pukul 15.20 WIB, Ketua MPR
yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan
mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa,
pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden
Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana agar kericuhan-kericuhan
dapat mereda.
Pada tanggal 19 Mei 1998, mahasiswa-mahasiswa
dari penjuru wilayah Indonesia berhasil menduduki gedung MPR/DPR. Mereka
melakukan unjuk rasa besar-besaran menuntut penghapusan KKN, penurunan sembako,
dan penurunan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Pada tanggal 20 Mei, 500.000
orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X.
Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.
Pada 21 Mei, Soeharto mengumumkan pengunduran
dirinya pada pukul 9.00 WIB. Presiden Soeharto meletakkan kekuasaan didepan Mahkamah Agung dan
mengucapkan terima kasih serta meminta maaf kepada seluruh rakyat dan
meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso
dan Kolonel (Pol) Sutanto. Kemudian, Presiden Soeharto menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie
menjadi pengganti presiden Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan
tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden, termasuk mantan Presiden
Soeharto beserta keluarga.
Pada 22 Mei 1998, setelah B.J. Habibie menerima
tongkat estafet kepemimpinan nasional maka dibentuk kabinet baru yang bernama
Kabinet Reformasi Pembangunan. Namun, setelah Soeharto digantikan oleh B.J.
Habibie para mahasiswa masih tetap melakukan bentrokan, mereka menganggap bahwa
Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru.
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan
masyarakat bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks
Tugu Proklamasi. Mereka menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang
dwifungsi ABRI/TNI.
Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu
mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan,
tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat
ketat oleh Tentara, Brimob, dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang
bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah
Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa
dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka
berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya, Jumat 13 November 1998, mahasiswa
dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya,
bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya
Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi
hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju
mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari
dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis
baja.
Pemerintahan B.J. Habibie dituduh melakukan tindakan
yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR sebelum
menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam jajak pendapat
terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie,
yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya
tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur
berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti
Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI.
Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya
Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai
masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer Indonesia sebagai
penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat.
Kemudian Presiden Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR pada tanggal 14 Oktober 1999,
namun terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan
Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orde Baru.
Pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien
Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden
Habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari presiden.
0 comments: